Gadisku, Bidadariku, Senyum Hidupku
. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan mengunjungi toko buku dan bertengger di dalamnya selama berjam-jam. Ratusan buku terpajang rapi seakan berebut dan berteriak agar dipilih untuk dibaca. Ruangan cukup luas membuat suasana hati sejuk ketika berada di dalamnya. Aku salah satu yang paling betah duduk berlama-lama membaca buku berkualitas dengan harga tinggi. Kebanyakan buku berkualitas tak mampu ku beli, beruntung toko buku tersebut menyediakan tempat membaca. Jika tak mampu membeli yang aku lakukan adalah membaca sampai tuntas buku yang membuatku tertarik.
Senin pagi tepat pukul sepuluh aku sudah berada dalam toko buku,
duduk manis di sebuah kursi dengan buku di tangan dan beberapa lagi aku
menaruhnya di sampingku. Pagi itu menjadi pagi yang indah bagiku karena
tepat di sampingku duduk seorang gadis cantik luar biasa. Sekali dua
kali bahkan berkali-kali aku menatap wajahnya, tentu tanpa
sepengetahuannya. Kecantikan gadis itu melebihi wanita tercantik di
kampusku. Pesonanya begitu menawan, ini kali pertama aku melihat
bidadari. Ya, aku menyebutnya bidadari. Hari itu aku berhasil membaca
dua buku sampai tuntas. Rasa pegal menyerangku, mataku sudah tak mampu
menerawang huruf yang tertata rapi di atas kertas. Usai membaca aku
memutuskan untuk segera pulang dan mengerjakan tugas yang telah
menungguku.
Aku melanjutkan perjalananku memahami isi dari setiap kata yang ku
baca keesokan harinya. Kembali aku melihat bidadari itu. Indahnya
membuatku merasakan getar syahdu kebahagiaan. Ingin sekali aku
berkenalan dengannya namun nyali dalam jiwaku tak mampu bertindak. Aku
hanya bisa menikmati parasnya dari jauh tanpa mampu menyentuh hatinya.
Kali ini ia tak duduk di sampingku. Aku merasa sedikit senang karena
kursi kami berhadapan meski jaraknya cukup jauh. Rasa senang yang ku
rasa karena lebih leluasa memandang wajah cantiknya terlebih di saat ia
melempar sebuah senyum setiap aku menatapnya. Sungguh perasaanku
menggila untuknya, namun lagi dan lagi nyaliku mundur saat menyadari
kelebihan yang dimiliki bidadari itu. Tak mungkin aku bisa menyentuh
hatinya, ku akui diriku kurang begitu sempurna sehingga merasa tak
pantas memilikinya. Akhirnya aku hanya menikmati parasnya dari jauh.
Hari ketiga aku datang ke toko buku agak siang. Lebih lambat dari dua
hari sebelumnya. Saat hendak duduk di kursi untuk baca buku,
pandanganku terasa sejuk. Ku lihat gadis itu duduk manis sedang membaca
salah satu buku agama Islam. Sejak awal aku melihat memang gadis itu
selalu baca buku-buku islami. Hatiku semakin sejuk kala itu, paras
cantik dan hati suci pikirku memberi pendapat untuk diriku sendiri. Aku
memutuskan duduk tepat di sampingnya, hal itu akan semakin menyejukkan
setiap sendi panas dalam tubuhku. Nyaliku masih tak mampu berbuat
apa-apa. Tak ada sepatah kata yang sanggup ku katakan untuknya meski
hati ini sangat menginginkan sebuah perkenalan dan percakapan.
Aku benar-benar ingin tahu banyak tentang gadis itu, kemudian
memiliki dirinya. Tepat kata aku jatuh cinta pada gadis itu, bidadari
dunia dikirim Tuhan untukku. Aku semakin gelisah di hari keempat,
bidadari itu kembali duduk di sampingku. Sempat bibirku mencoba
mengeluarkan kata namun itu tak terjadi karena bidadari itu tiba-tiba
pergi dan ke luar dari toko buku. Mungkin ia sudah bosan karena tiap
hari harus bertemu denganku ataukah ia menungguku bicara dan itu tak
kunjung terjadi sehingga membuatnya marah? Pikiranku berkecamuk, campur
aduk rasa melanda jiwaku. Entah mengapa bibirku tak mampu berucap ketika
hendak berbicara dengannya. Ini pengalaman pertamaku, dalam cinta
pastinya. Sejauh hidupku berjalan hingga saat ini aku belum pernah
mengenal cinta.
Malam sudah mulai gelap ketika aku tiba di rumah. Hanya remang cahaya
lampu terlihat dari setiap sudut rumah. Segera ku raih laptop untuk
mengetik segala hal yang aku dapat dari buku yang telah ku baca di toko
buku tadi. Terus aku memindahkan file dari otakku ke file komputer.
Sedang asyik berbicara dengan pengetahuanku tanganku berhenti mengetik,
otakku tak mampu menuangkan ilmu yang ku dapat dalam buku yang telah ku
baca. Wajah bidadari itulah penyebabnya. Kini pikiranku tertuju padanya.
Wajah cantik dengan senyum mempesona itu terbayang dan terus terbayang.
Aku tak mampu menahan gejolak hatiku. Kali ini nyaliku mulai berbicara,
ia mengatakan siap mengeluarkan segenap kekuatannya untuk menghadapi
bidadari itu. Nyaliku mulai siap melakukan tugasnya.
Malam itu aku terus membayangkan wajah gadis itu, bidadari yang
dikirim Tuhan untukku. Aku telah menyusun sebuah rencana untuk bisa
berkenalan dengannya esok hari. Aku harus bisa berbicara panjang lebar
dengannya karena aku sungguh-sungguh jatuh cinta. Rencana yang matang
telah ku persiapkan. Hari keempat aku menginjakkan kaki di toko buku itu
menjadi penentu nasib cintaku. Rasa canggung sering menyerangku namun
nyali lebih cepat menepisnya. Aku melangkah sesempurna mungkin ketika
hendak duduk di kursi toko buku. Duduk manis menanti sang bidadari
menjadi awal rencanaku. Aku menunggu dengan hati riang bercampur rasa
canggung. Empat jam sudah aku menunggu kedatangan bidadari itu namun ia
tak kunjung muncul. Gelisah mulai bertahta dalam hatiku. Tak menentu.
Aku semakin terpuruk saat toko buku segera ditutup karena sudah
waktunya. Dingin malam menusuk jiwaku. Rencana besarku gagal, nyaliku
tak mampu bergeming. Aku pulang dengan tangan hampa. Sekali lagi aku
gagal.
Sebelum pulang ke rumah seperti biasa aku sering didera rasa lapar.
Aku selalu mampir di sebuah warung makan super murah. Ini rutin ku
lakukan setiap pulang dari toko buku. Saat berada di warung itu aku
langsung memesan menu andalanku, Nasi goreng telur. Suapan pertama yang
masuk ke mulutku membuyarkan rasa lapar. Suapan kedua aku berhenti. Ku
lihat di seberang warung sebuah rumah penuh dengan orang-orang. Suara
tangisan mengganggu telingaku. Aku semakin penasaran saat melihat
karangan bunga duka lengkap dengan gambar diri yang meninggal. Sepintas
ku lihat mirip wajah gadis di toko buku, bidadariku. Untuk memastikan,
ku tinggalkan sejenak makananku kemudian berjalan mendekati karangan
bunga itu. Ternyata penglihatanku tak salah, yang terlihat jelas di
depan mataku adalah gambar diri bidadari itu. Tubuhku lemas, hatiku
teriris. Jantungku terasa sangat lemah, langkahku berat.
Segera aku melangkah masuk ke dalam rumah duka. Tak ada yang
mengenalku, tak juga seorang pun yang aku kenal kecuali gadis yang
terbujur kaku di hadapanku. Gadis impian yang membuat hariku indah.
Bidadari yang dikirim Tuhan untukku. Air mataku berderai saat melihat
senyum dari wajahnya. Ia pergi dengan sebuah senyuman, meninggalkan
segala cerita hidupnya. Senyum penuh pesona yang mengisahkan kesucian
hati seorang manusia. Senyum yang ku terima saat memandang wajahnya di
toko buku. Aku benar-benar sedih dan menangis. Tangisku terhenti ketika
salah seorang berbicara denganku. Orang itu menanyakan apakah aku
mengenal gadis itu. Orang itu tak lain adalah ibu gadis itu. Aku
kemudian menjelaskan semua yang telah aku alami dengan gadis itu.
Betapa pilunya hatiku ketika mendengar penjelasan dari ibunya bahwa
gadis bernama Putri Syahadat itu mengidap penyakit kanker otak. Dokter
telah memberikan vonis umurnya tak akan bertahan lama. Lima hari yang
lalu vonis itu jatuh kepadanya dan saat itu juga ia banyak menghabiskan
waktunya untuk kebaikan. Ia lebih rajin beribadah dibanding sebelumnya.
Untuk menambah pengetahuannya tentang agama, ia banyak membaca buku
islami. Bidadari itu memberiku banyak pelajaran hidup. Senyum yang
pernah diberikan untukku tak akan pernah hilang dalam jiwaku. Senyum
tulus penuh arti ku temukan dalam dirinya. Walau aku tak sempat
mengenalnya namun senyum itu menceritakan segalanya tentang dirinya.
Gadisku, bidadariku, senyum hidupku.
Cerpen Karangan: Irwandi Fahruddin
0 komentar:
Posting Komentar