Minggu, 10 April 2016

Artikel Copas :)


Gadisku, Bidadariku, Senyum Hidupku


Awal pekan ini menjadi hari yang sangat melelahkan untukku. Tugas dari kampus lumayan berat, aku diharuskan mencari referensi sebanyak mungkin. Aku diberi saran oleh dosen untuk membaca tuntas dua puluh judul buku dalam waktu satu minggu. Tentu ini sangat sulit bagiku
. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan mengunjungi toko buku dan bertengger di dalamnya selama berjam-jam. Ratusan buku terpajang rapi seakan berebut dan berteriak agar dipilih untuk dibaca. Ruangan cukup luas membuat suasana hati sejuk ketika berada di dalamnya. Aku salah satu yang paling betah duduk berlama-lama membaca buku berkualitas dengan harga tinggi. Kebanyakan buku berkualitas tak mampu ku beli, beruntung toko buku tersebut menyediakan tempat membaca. Jika tak mampu membeli yang aku lakukan adalah membaca sampai tuntas buku yang membuatku tertarik.


Senin pagi tepat pukul sepuluh aku sudah berada dalam toko buku, duduk manis di sebuah kursi dengan buku di tangan dan beberapa lagi aku menaruhnya di sampingku. Pagi itu menjadi pagi yang indah bagiku karena tepat di sampingku duduk seorang gadis cantik luar biasa. Sekali dua kali bahkan berkali-kali aku menatap wajahnya, tentu tanpa sepengetahuannya. Kecantikan gadis itu melebihi wanita tercantik di kampusku. Pesonanya begitu menawan, ini kali pertama aku melihat bidadari. Ya, aku menyebutnya bidadari. Hari itu aku berhasil membaca dua buku sampai tuntas. Rasa pegal menyerangku, mataku sudah tak mampu menerawang huruf yang tertata rapi di atas kertas. Usai membaca aku memutuskan untuk segera pulang dan mengerjakan tugas yang telah menungguku.

Aku melanjutkan perjalananku memahami isi dari setiap kata yang ku baca keesokan harinya. Kembali aku melihat bidadari itu. Indahnya membuatku merasakan getar syahdu kebahagiaan. Ingin sekali aku berkenalan dengannya namun nyali dalam jiwaku tak mampu bertindak. Aku hanya bisa menikmati parasnya dari jauh tanpa mampu menyentuh hatinya. Kali ini ia tak duduk di sampingku. Aku merasa sedikit senang karena kursi kami berhadapan meski jaraknya cukup jauh. Rasa senang yang ku rasa karena lebih leluasa memandang wajah cantiknya terlebih di saat ia melempar sebuah senyum setiap aku menatapnya. Sungguh perasaanku menggila untuknya, namun lagi dan lagi nyaliku mundur saat menyadari kelebihan yang dimiliki bidadari itu. Tak mungkin aku bisa menyentuh hatinya, ku akui diriku kurang begitu sempurna sehingga merasa tak pantas memilikinya. Akhirnya aku hanya menikmati parasnya dari jauh.

Hari ketiga aku datang ke toko buku agak siang. Lebih lambat dari dua hari sebelumnya. Saat hendak duduk di kursi untuk baca buku, pandanganku terasa sejuk. Ku lihat gadis itu duduk manis sedang membaca salah satu buku agama Islam. Sejak awal aku melihat memang gadis itu selalu baca buku-buku islami. Hatiku semakin sejuk kala itu, paras cantik dan hati suci pikirku memberi pendapat untuk diriku sendiri. Aku memutuskan duduk tepat di sampingnya, hal itu akan semakin menyejukkan setiap sendi panas dalam tubuhku. Nyaliku masih tak mampu berbuat apa-apa. Tak ada sepatah kata yang sanggup ku katakan untuknya meski hati ini sangat menginginkan sebuah perkenalan dan percakapan.
Aku benar-benar ingin tahu banyak tentang gadis itu, kemudian memiliki dirinya. Tepat kata aku jatuh cinta pada gadis itu, bidadari dunia dikirim Tuhan untukku. Aku semakin gelisah di hari keempat, bidadari itu kembali duduk di sampingku. Sempat bibirku mencoba mengeluarkan kata namun itu tak terjadi karena bidadari itu tiba-tiba pergi dan ke luar dari toko buku. Mungkin ia sudah bosan karena tiap hari harus bertemu denganku ataukah ia menungguku bicara dan itu tak kunjung terjadi sehingga membuatnya marah? Pikiranku berkecamuk, campur aduk rasa melanda jiwaku. Entah mengapa bibirku tak mampu berucap ketika hendak berbicara dengannya. Ini pengalaman pertamaku, dalam cinta pastinya. Sejauh hidupku berjalan hingga saat ini aku belum pernah mengenal cinta.


Malam sudah mulai gelap ketika aku tiba di rumah. Hanya remang cahaya lampu terlihat dari setiap sudut rumah. Segera ku raih laptop untuk mengetik segala hal yang aku dapat dari buku yang telah ku baca di toko buku tadi. Terus aku memindahkan file dari otakku ke file komputer. Sedang asyik berbicara dengan pengetahuanku tanganku berhenti mengetik, otakku tak mampu menuangkan ilmu yang ku dapat dalam buku yang telah ku baca. Wajah bidadari itulah penyebabnya. Kini pikiranku tertuju padanya. Wajah cantik dengan senyum mempesona itu terbayang dan terus terbayang. Aku tak mampu menahan gejolak hatiku. Kali ini nyaliku mulai berbicara, ia mengatakan siap mengeluarkan segenap kekuatannya untuk menghadapi bidadari itu. Nyaliku mulai siap melakukan tugasnya.
Malam itu aku terus membayangkan wajah gadis itu, bidadari yang dikirim Tuhan untukku. Aku telah menyusun sebuah rencana untuk bisa berkenalan dengannya esok hari. Aku harus bisa berbicara panjang lebar dengannya karena aku sungguh-sungguh jatuh cinta. Rencana yang matang telah ku persiapkan. Hari keempat aku menginjakkan kaki di toko buku itu menjadi penentu nasib cintaku. Rasa canggung sering menyerangku namun nyali lebih cepat menepisnya. Aku melangkah sesempurna mungkin ketika hendak duduk di kursi toko buku. Duduk manis menanti sang bidadari menjadi awal rencanaku. Aku menunggu dengan hati riang bercampur rasa canggung. Empat jam sudah aku menunggu kedatangan bidadari itu namun ia tak kunjung muncul. Gelisah mulai bertahta dalam hatiku. Tak menentu. Aku semakin terpuruk saat toko buku segera ditutup karena sudah waktunya. Dingin malam menusuk jiwaku. Rencana besarku gagal, nyaliku tak mampu bergeming. Aku pulang dengan tangan hampa. Sekali lagi aku gagal.

Sebelum pulang ke rumah seperti biasa aku sering didera rasa lapar. Aku selalu mampir di sebuah warung makan super murah. Ini rutin ku lakukan setiap pulang dari toko buku. Saat berada di warung itu aku langsung memesan menu andalanku, Nasi goreng telur. Suapan pertama yang masuk ke mulutku membuyarkan rasa lapar. Suapan kedua aku berhenti. Ku lihat di seberang warung sebuah rumah penuh dengan orang-orang. Suara tangisan mengganggu telingaku. Aku semakin penasaran saat melihat karangan bunga duka lengkap dengan gambar diri yang meninggal. Sepintas ku lihat mirip wajah gadis di toko buku, bidadariku. Untuk memastikan, ku tinggalkan sejenak makananku kemudian berjalan mendekati karangan bunga itu. Ternyata penglihatanku tak salah, yang terlihat jelas di depan mataku adalah gambar diri bidadari itu. Tubuhku lemas, hatiku teriris. Jantungku terasa sangat lemah, langkahku berat.

Segera aku melangkah masuk ke dalam rumah duka. Tak ada yang mengenalku, tak juga seorang pun yang aku kenal kecuali gadis yang terbujur kaku di hadapanku. Gadis impian yang membuat hariku indah. Bidadari yang dikirim Tuhan untukku. Air mataku berderai saat melihat senyum dari wajahnya. Ia pergi dengan sebuah senyuman, meninggalkan segala cerita hidupnya. Senyum penuh pesona yang mengisahkan kesucian hati seorang manusia. Senyum yang ku terima saat memandang wajahnya di toko buku. Aku benar-benar sedih dan menangis. Tangisku terhenti ketika salah seorang berbicara denganku. Orang itu menanyakan apakah aku mengenal gadis itu. Orang itu tak lain adalah ibu gadis itu. Aku kemudian menjelaskan semua yang telah aku alami dengan gadis itu.

Betapa pilunya hatiku ketika mendengar penjelasan dari ibunya bahwa gadis bernama Putri Syahadat itu mengidap penyakit kanker otak. Dokter telah memberikan vonis umurnya tak akan bertahan lama. Lima hari yang lalu vonis itu jatuh kepadanya dan saat itu juga ia banyak menghabiskan waktunya untuk kebaikan. Ia lebih rajin beribadah dibanding sebelumnya. Untuk menambah pengetahuannya tentang agama, ia banyak membaca buku islami. Bidadari itu memberiku banyak pelajaran hidup. Senyum yang pernah diberikan untukku tak akan pernah hilang dalam jiwaku. Senyum tulus penuh arti ku temukan dalam dirinya. Walau aku tak sempat mengenalnya namun senyum itu menceritakan segalanya tentang dirinya. Gadisku, bidadariku, senyum hidupku.
Cerpen Karangan: Irwandi Fahruddin

0 komentar:

Posting Komentar